Selasa, 22 Juni 2010

KETIKA NON-KEKERASAN BERARTI BUNUH DIRI


Oleh: Ted Kaczynski

Ini adalah musim gugur tahun 2025, sistem teknoindustrial telah runtuh setahun lalu. Tapi kamu dan teman-temanmu ternyata baik-baik saja. Kebunmu telah berkembang selama musim panas ini, dan di tempat penyimpanan, kamu memiliki pasokan yang mencukupi dari sayuran kering, kacang kering dan bahan makanan lain untuk memastikan kamu bisa melalui musim dingin mendatang dengan baik. Sekarang saatnya memanen kentang kalian. Dengan sekop, kamu dan teman-temanmu mencabut kentang satu demi satu dan memilih umbi yang baik dari tanah yang subur.

Tiba-tiba, teman di sebelahmu menyikutmu dan ketika kamu melihat ke atas, oh, sekelompok lelaki bertampang sangar sedang menuju ke arahmu. Mereka membawa senjata. Sepertinya akan ada masalah, tapi kamu berdiri dengan teguh. Pimpinan genk berjalan ke arahmu dan berkata,

"Kamu punya kentang-kentang yang bagus rupanya."

"Ya," serumu. "Ini Kentang-kentang yang bagus."

"Kami akan mengambilnya," kata pimpinan genk itu.

"Persetan denganmu!" makimu. "Kami menghabiskan sepanjang musim panas dengan bekerja keras untuk menumbuhkan kentang-kentang ini…"

Pimpinan genk mengacungkan pistolnya ke wajahmu dan berkata, "Diam kamu, dasar sampah!"

Kepada anak buahnya dia menambahkan, "Dick, Ziggy, cek tempat penyimpanan dan lihat makanan apa yang mereka punya. Kita mungkin akan pindah dan tinggal selama musim dingin di sini. Mick, seret wanita yang di sana itu sebelum dia kabur. Dia menarik, kita semua akan habiskan malam dengannya".

Kamu menjadi marah dan mulai berteriak, "Bajingan kamu! kamu tidak…"

DOR! Pistol meledak. Kamu mati.


* * *


Non-kekerasan bekerja hanya jika kamu memiliki polisi untuk melindungimu. Dengan tidak adanya perlindungan polisi, non-kekerasan sangat hampir sama dengan bunuh diri.

Memang hal itu tidak sama di semua waktu dan tempat. Di antara orang-orang Pigmi di Afrika seperti yang dijelaskan oleh Colin Turnbull, kekerasan mematikan terhadap manusia itu hampir tidak dikenal. Di kelompok berburu dan meramu nomaden lainnya kadang-kadang orang saling membunuh dalam perang, tetapi tidak pernah ada penaklukkan wilayah atau suku secara sistematis. Dalam kondisi semacam ini, non-kekerasan tidak inkonsisten dengan bertahan hidup.

Tapi, realistis, ini bukan suatu kondisi yang akan berlaku jika dan ketika sistem teknoindustrial runtuh. Ada banyak orang-orang kejam di luar sana: Nazi, Hell's Angels, Ku Klux Klan, Mafia... atau bahkan yang bukan termasuk ke dalam kelompok tertentu. Mereka tidak akan menghilang ke udara tipis bila sistem ini telah hancur. Mereka akan selalu ada di sekitar kita. Mereka mungkin tidak akan berhasil mengembangkan makanan mereka sendiri, bahkan meskipun mereka mencobanya, dan mereka tidak akan mencoba itu karena bagi orang-orang seperti mereka, akan jauh lebih menyenangkan untuk mengambil makanan dari orang lain daripada menumbuhkannya sendiri. Dan karena mereka adalah setan, mereka dapat membunuhmu atau memperkosamu hanya untuk bersenang-senang, bahkan ketika mereka tidak membutuhkan makanan dari kamu.

Banyak juga orang-orang biasa, yang dalam kondisi saat ini adalah orang yang cinta damai dan berwatak halus, bisa berubah menjadi kejam ketika mereka putus asa untuk mendapatkan makanan yang cukup atau lahan pertanian yang baik untuk menumbuhkannya. Kekurangan makanan mungkin tidak akan menjadi masalah di wilayah yang biasa kita sebut daerah "terbelakang" di mana petaninya masih relatif swasembada, tetapi di negara-negara industri, di mana pertanian sangat tergantung pada pupuk kimia dan pestisida, dan bahan bakar (antara lain) untuk traktor, dan di tempat di mana hanya ada sedikit orang yang memiliki keahlian untuk secara efektif mengembangkan pangan mereka sendiri, kekurangan makanan pasti menjadi masalah akut ketika sistem runtuh.

Bahkan, mari kita berargumen dengan asumsi jika negara-negara industri bahkan memiliki cukup lahan sehingga semua orang akan, secara teori, mampu menanam dan mengembangkan pangan untuk mereka sendiri dengan metode primitif. Dengan tidak adanya pemerintahan yang berfungsi, tidak akan ada cara untuk menata penduduk kota kembali ke pedesaan dan alokasi tanah secara sistematis untuk setiap keluarga. Oleh karena itu, akan terjadi kekacauan dan kebingungan. Beberapa orang akan mencoba untuk mendapatkan bagian lahan terbesar atau tanah terbaik untuk diri mereka sendiri, orang lain akan menentang mereka dan perkelahian mematikan tidak akan terhindarkan. Kelompok-kelompok bersenjata akan muncul baik untuk melindungi diri sendiri atau untuk tujuan agresif. Jika kamu ingin bertahan dalam keruntuhan sistem ini, kamu harus mempersenjatai diri dan siap untuk menggunakan senjatamu secara efisien. Ini artinya, persiapkan dirimu, baik secara fisik maupun mental.

Mempersenjatai diri dan menyiapkan perlawanan untuk membela diri tidak akan hanya menjadi syarat perlu untuk kelangsungan hidup... itu akan menjadi tugasmu. Nazi, Hell's Angels dan Ku Klux Klan sesungguhnya bukan musuh paling berbahaya bagi kebebasan. Orang-orang tersebut adalah kelompok yang tidak disiplin, kacau dan tak teratur, mereka tidak mungkin untuk membuat organisasi yang besar dan efisien. Yang jauh lebih berbahaya sebetulnya adalah jenis orang yang menjadi tulang punggung dari sistem saat ini, orang-orang yang telah beradaptasi dengan kehidupan di organisasi yang disiplin: tipe "borjuis”—insinyur, eksekutif bisnis, birokrat, perwira militer, polisi dan sebagainya. Orang-orang ini akan berusaha memulihkan ketertiban, organisasi dan sistem teknologi secepat mungkin. Metode mereka mungkin tidak akan sekasar Nazi dan Hell's Angels, tapi mereka juga tidak akan ragu untuk menggunakan kekerasan demi kekerasan yang diperlukan untuk mencapai tujuan mereka. Kamu HARUS siap untuk membela diri secara fisik melawan orang-orang ini.

Rabu, 16 Juni 2010

Lintas saja lalu baru

Menawar luka, mengingat esok, menapaki kemarin
Kau terisisih, bersarang dikepala, aku gila

Minggu, 13 Juni 2010

Sekali lagi tentang Aku, Kau dan Dia

Anjing!!!

Ku awali dengan percikan
Sebatang pun akhinya kudesak
Dan kau berlalu membawa angan
Menantimu ditemani awan berarak

Kita larut dalam canda
Sejenak kulupakan bara di dada
Lampu jadi makam
Saat kau ucapkan di tengah kelam

Hati meriang
Mimpiku melayang
Kau dan aku menjadi sepasang

Dia pun datang
Akupun meradang
Sekejap ku terbang
Menuju sarang

Akhirnya kau mengawang
Tak hadir di nyataku
Dan aku pun hilang
Bersama lukaku

Rabu, 19 Mei 2010

Menghasut……….

Kuputuskan tuk buat sesuatu yang bukan ‘keras’, ‘menghasut’, ‘propagandis’, sekedar menoleh ke samping kiri dan kanan tak lupa di belakang ku. Harus diakui perbedaan pada tiap individu mutlak adanya. Kejenuhan sering melanda dalam beratnya pergumulan dalam hidup. Apa lagi dijalani tanpa ‘partner”, bisa bermuara pada kata yang kubenci sekaligus sering kualami ‘frustasi’. Bermain dengan kelompok yang punya agenda ‘berbeda dan hitam’ tentunya punya sensasi dan risiko (yang tinggi?) dari sekedar aktif di lembaga kemahasiswaan dan berlindung di balik dinginnya tembok kampus. Merumuskannya dari awal, berpartisipasi aktif, menarik urat leher ketika dibusuki, menata kolektif yang minim partisipasi, mencari teman baru untuk bikin projek, sungguh menantang skaligus (kadang) membosankan.



Membosankan memang, di hari-hari penuh kebohongan seperti ini apa sih yang tidak membosankan? Sex dan makan mungkin tak melulu membosankan. Kembali ke project. Mungkin satu-satunya yang bikin hari ini dan besok masih layak dijalani karena itu, bikin projek, entahlah projek apa. Sulit tuk memulai sesuatu (projek) tanpa partner dan partner yang baik adalah partner yang mau berbagi. Sudikah kau berbagi pacarmu? Hahaha..Kerja, dapat duit, punya teman yang diajak ketawa-ketiwi, bukan hidup, bukan itu yang kuminati. Berontak sedikit sepertinya membuat hari lebih berwarna. Lempar apa kek ke muka bos, orang kaya atau semua orang yang mengaku dirinya pemimpin. Anjing!!!



Permainan lempar-melempar pun tak sembarangan, planningnya harus matang, kuantitas dan kualitas partner harus sesuai dengan kemampuan partner dan dirimu. Jika partener tak ada, trus dunia makin busuk dan tak layak untuk ditempati, buang partner mu ke tempat sampah dan mulai sendiri dan baiknya temukan partner baru. Hidup yang indah, penuh kesenangan dan waktu luang di kampus mungkin memberi mereka sedikit arti bagi hidup mereka. Arti apa? Semoga bukan arti yang palsu. Atau memang mereka punya projek sendiri yang tak layak untuk kamu terlibat di dalamnya. Entahlah, aku benci orang yang tak berbuat apa-apa lantas datang dan berceramah di depan ‘adik-adiknya’, laksana nabi yang membawa kebenaran. Tai. Anjing.



Kau tau aturan? Ya..aturan…seperti jika berjalan kaki kau harus ke trotoar, jika hendak masuk mall kau harus masuk lewat “entrance” dan keluar lewat pintu “out”. Kalau mau tidur harus jam 8 malam dan bangun jam 5 pagi trus bekerja seharian penuh, lalu lelah, butuh hiburan, nontonlah kau kebohongan yang ada di TV dan tidur kembali jam 8 dan bangun jam 5. Kau pernah lihat ternak? Kalau kau besar di kampung yang punya background farming-nya pasti tau ini. Ternak dikeluarkan dari kandang jam 5 pagi (kadang itu sangat menganggu ternak yang masih ingin tidur) dan kembali di petang hari untuk masuk ke dalam kandang dan beristirahat. Ya, kau seperti ternak jika mematuhi semua aturan sampah ini. Konsep tata kota yang rapi lengkap denga software-nya berupa ‘gerakan disiplin nasional’ itu tak lain adaptasi dari prinsip peternakan atau istilah kerennya domestikasi. Jangan salah bung, kita hidup di era kapitalisme, when time is the goddammed money. Holly Shit!!!

-Bersombong-

Sabtu, 15 Agustus 2009

Beberapa baris tentang barisan OSPEK

Hembusan udara dingin dari mesin air conditioner di ruang kuliah pada salah satu fakultas termuda di Universitas Hasanuddin ini, sudah cukup untuk membuat hampir semua anak muda dengan kepala botak itu, lelap dalam tidur di sela-sela celoteh senior mereka. Karisma senior yang mengangkang di depan mereka tampaknya tak cukup untuk membuat melek mata yang lelah akibat begadang mempersiapkan perlengkapan yang tak kalah ramenya dengan perlengkapan seorang badut. Teriakan dan hentakan pada meja sesekali membuka kelopak mata yang hitam dan serta-merta kebisuan menyelimuti ruangan. Setelah ketegangan mereda, senior tersebut kembali mengoceh ke sana kemari, mulai dari heroisme mahasiswa sebagai agent of change hingga dongeng tentang kebesaran kampus merah Unhas. Ritual ini terus berlangsung tiap kali kampus kedatangan mahasiswa baru (maba) dan selalu diwarnai dengan intimidasi, pemaksaan, tindak kekerasan, pemerasan hingga kadang-kadang pelecahan. Skenario yang entah siapa yang pertamakali merancangnya terus diperankan dengan sempurna oleh semua panitia dan seni-or, polanya sama, hanya berganti person yang akan memerankan berbagai karakter skizofrenik, tergantung angkatan berapa yang punya giliran mainkan lakon ini.

Kampus sebagai dapur tempat meramu berbagai materi ilmiah dan melahirkan banyak pribadi intelktual, tenyata sampai saat ini masih terjebak dalam ritual kuno berbau feodal yang sudah lama ditinggalkan peradaban tempat ia dibesarkan selama ini. Ospek yang kental aroma perpeloncoannya tidak lain mengadopsi ritual purba yang dilakukan oleh Suku Thonga di Afrika Selatan, salah satu suku tertua yang masih memelihara tradisi perpeloncoan untuk anak lelaki yang ingin mendapatkan pengakuan sebagai seorang lelaki dewasa. Ketika seorang bocah telah berusia antara 10 hingga 16 tahun, dia dikirim oleh orang tuanya di “curcumcision school” yang diselenggarakan tiap 4 atau 5 tahun sekali. Ritual inisiasi ini dimulai dengan berlarinya setiap bocah dalam garis panjang yang di sana telah berbaris para lelaki dewasa yang akan memukuli mereka dengan tongkat kayu di sepanjang perjalanan. Di akhir perjalanan, baju sang bocah akan dilucuti dan rambutnya dicukur habis. Dia lalu harus menjalani tiga bulan masa inisiasi untuk menjalani enam ujian utama: dipukuli (oleh lelaki dewasa yang telah dilantik), bertahan dalam cuaca dingin tanpa baju dan selimut, kehausan, makan makanan yg sungguh tak enak & layak, dihukum (semisal dengan meremukkan jari ketika ketahuan melanggar aturan), dan terancam tewas selama menjalani ritual. Semua ritual ini dimksudkan untuk mempersiapkan anak yang bernjak dewasa ini untuk maju di medan perang. Apakah mahasiswa memang dipersiapkan untuk melatih kekuatan fisiknya di medan laga? Sama sekali tidak, kampus bukanlah medan peperangan dengan bau amis darah dan terror teriakan musuh yang menahan rasa sakit tertusuk tombak.



Aksi kekerasan yang beramai-ramai dilakukan oleh orang dewasa dalam ritual suku Thonga sangat mirip dengan pemukulan yang kerap dilakukan senior di sela-sela rangkaian kegiatan Ospek. Pencukuran rambut yang dilakukan setelah tindakan pemukulan dalam salah satu segmen ritual kepunyaan suku di afrika ini, juga dilakukan oleh panitia pelaksana ospek kepada maba. Upacara merendam maba saat bina akrab pun mirip dengan tujuan ritual “curcumcision school” yang melucuti baju bocah dan dibiarkan nginap di alam terbuka yaitu membuat maba dan bocah tersebut kedinginan. Ospek sungguh bagai sebuah sirkus modern dengan menganut gaya usang ala Thonga.



Hal ini kian diperparah dengan kemiskinan metode dalam mengelola acara penyampaian materi ospek yang mutlak sama seperti penyampaian materi kuliah yang membosankan oleh dosen. Kegiatan ini masih berupa cetak biru dari proses perkuliahan yang berjalan satu arah, di mana ada pemateri yang berceramah dengan berapi-api sementara pesertanya (maba) terus mendengarkan dengan jemu dan terus berharap ini akan segera berakhir. Penempatan figur tunggal sebagai sumber referensi satu-satunya dalam kelas terbukti hanya menyisakan sedikit bekas di kepala peserta. Hal ini didukung oleh tata letak komponen kelas yang mengikuti gaya mengajar yang telah 9 tahuh telah dicicipi peserta. Pemateri yang letaknya didepan ruang kelas yang berhadapan dengan peserta menciptakan ketidaksetaraan yang menimbulkan kepasifan pada peserta. Kepasifan tak menghasilkan apa-apa selain bau mulut pemateri yang menghiasi ruang kelas. Walaupun pemateri mencoba membuka kesempatan bertanya, tetap saja di bawah kondisi fisik yang minim dan intimidasi senior, pertanyaan yang muncul tidak betul-betul hadir oleh rasa keingin tahuan peserta, tetapi berasal dari “power of kekepet”, untuk mengakhiri adegan gila ini.



Rutinitas tahunan ini harus segera diakhiri atau paling tidak, dipaksa untuk menemukan bentuk barunya yang lebih “fun”. Karena mahasiswa sebagai pilar utama eksisnya kampus yang ilmiah, tidak pantas mempraktekkan ritual kuno yang tak jauh beda dengan latihan militer. Kita bukan angkatan bersenjata yang dilatih hanya untuk menerima komando dari atasan. Otak yang kita miliki selayakya digunakan untuk menalar sesuatu, kritis terhadap sebuah kondisi, dan menstimulus perlawanan terhadap ketimpangan yang terjadi. Hasrat destruktif mestinya dibebaskan untuk menghacurkan belenggu otoritas yang sok mengatur diri kita. Aksi kekerasan dan intimidasi oleh senior tak lebih dari tindakan seorang “banci”, yang tak mampu memerdekakan hasratnya ketika ditindas oleh seniornya dahulu, dan kini ia mendapat momen yang tepat untuk melampiaskannya kepada maba, sunguh pengecut! Kampus tak butuh itu semua! Kampus butuh teriakan suara lantang di jalanan, sebotol bensin dilengkapi sumbu, spanduk membentang panjang, dan batu yang disiapkan untuk mendarat di kepala babi berseragam coklat.(fhr_ald)

Kamis, 13 Agustus 2009

Resensi film : Ikigami*

Pemerintah Jepang turut andil dalam pelaksanaan sebuah program di mana warga negara yang beumur di bawah 24 tahun, yang memenuhi syarat akan dipilih secara acak, untuk ditentukan hari kematiannya. Sampai pada umur 24 tahun, Kengo Fujimoto diangkat sebagai salah satu dari sekian banyakpekerja yang bertanggung jawab untuk menangani Ikigami, atau surat kematian, memberitahu orang yang hanya tinggal menyisakan umur satu hari atau 24 Jam untuk hidup. Ini hanya cuplikan, walaupun begitu, cara kematian ini sebenarnya disebabkan oleh nanokapsul yang disuntikkan pada waktu masih kanak-kanak. Nanokapsul ini hinggap pada pembuluh darah arteri menunggu diaktifkan oleh pemerintah untuk meledakkan pembuluh darah si korban. Fujimoto sangat menentang aturan ini, tetapi ia tidak dalam posisi yang tepat untuk bisa berbicara lantang melawan hal ini. Malahan ia melanjutkan pekerjaannya seperti diharapkannya. Saat menjalankan tugas ia harus berhadapan dengan berbagai respon emosional dari korban yang mengetahui bahwa umurnya tinggal 24 jam. (film.com)


*ditranslate seadanya dari film.com
sy punya kopian filmya, formatnya .avi, subtitle yg ada baru english, carikan dule bahasa indonesianya...


-film ini membutikan bahwa negara memang berbahaya bagi dirimu!-

Rabu, 12 Agustus 2009

Embrio tentang: Nurdin M Top Vs Petani Polongbangkeng Takalar di Ring Tarung Media Lokal

Celoteh tentang “netralitas media”, “….. di garis tak berpihak”, bla..bla..bla…yang tiap hari disodorkan kepadamu di teras rumah, menemani secangkir kopi yang kau minimum, tinggal jargon palsu belaka. Sekali lagi, anggapan bahwa media massa hari ini hanya jadi “loudspeaker” P2 (penguasa+pemerintah) bukan isapan jempol belaka. Hampir disepanjang minggu awal bulan agustus ini, ruang keluargamu dibom-bardir oleh berita tentang perburuan teroris (apa..binatang kapang) melaui televisi, surat kabar lokal juga tak mau kalah, headline yang ditampilkan sepanjang pecan ini juga tentang t-erorr-isme. Sementara peristiwa yang tak kalah dahsyatnya dengan ledakan bom yang nun jauh di sana, terjadi di takalar, sulsel dan media lokal hanya memberitakannya dihalaman belakang dengan porsi yang sangat sedikirt. Ya! Petani Polongbangkeng yang setelah 28 tahun tanahnya “dijarah” oleh PTPN Nusantara 14, perusahaan perkebunan Negara yang tak kalah rakusnya dengan korporsi swasta, menolak memperpanjang kontrak sewa tanah mereka kepada PTPN 14 dan terlibat “perang” dengan polisi. Hahaha..di mana-mana korporasi sama saja, mau swasta, mau milik negara sama saja corak dan relasi produksinya.

Hari ini Rabu 12 Agustus 2009 kembali ku tengok surat kabar lokal, berharap ada berita terbaru dari petani Puolongbangkeng. Lagi-lagi headline tentang pelaku t-erorr yang sudah terungkap identitasnya. Sementara berita tentang Polongbangkeng hanya berupa konfirmasi Pemprov dan kepolisian tentang penarikan pasukan dari tanah sengketa, itupun di sisispkan jauh di halaman belakang yang hampir luput dari pandanganku. Jika berbicara dalam konteks kaidah jurnalistik, dalam hal ini nilai berita, poin tentang proximitas berita tentunya akan dimenangkan oleh Petani Polongbangkeng dalam pertarungannya di meja redaksi. Tetapi sebagai agen propaganda P2, media akhirnya secara tidak fair memenangkan t-erorr-is Nurdin M Top dkk di pada sesi perebutan headline yang akan dimuat di halaman paling depan Koran lokal di kota ini.

Mengapa hampir tiap hari berita tentang Nurdin M Top dkk selalu mendapat porsi yang besar dalam jam tayang pemberitaan ataupun halaman utama sebuah surat kabar? Mengapa berita tentang t-error-is ini selau diteriakkan berulang-ulang ke telinga kita? Hahaha..Pernah dengar pepatah tua yang bunyinya : “Kebohongan yang selalu dikabarkan berulang-ulang pada akhirnya akan menjadi sebuah kebenaran baru”? Itu dia, Nurdin M Top tak lebih hanyalah tokoh hayalan seperti fabel aladin dari Irak, yang terus diberitakan hingga tokoh ini menjadi hidup di tengah masyarakat kita. Dengan hendak menutupi ketidakbecusannya mengelola negara ini, t-erorr bom dihadirkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada negara sebagai tempat berlindung yang aman dari serangan teororis dan semacamnya. Sementara kasus tanah antara pemerintah (PTPN 14) dan warga asli Polongbangkeng sengaja ditutup-tutupi oleh pemerintah untuk menghindari simpati masyarakat pada warga Polongbangkeng yang mempertahankan tanah miliknya dengan parang dan tombak melawan sekompi Brimob lengkap dengan senjata api yang dibeli dari pajak yang mereka bayarkan sendiri pada pemerintah.

Pengepungan terhadap raja t-erorr-is Nurdin M Top oleh Datasemen 88 hanyalah sandiwara belaka. Pengepungan sebenarnya terjadi di Polongbangkeng, Kabupaten Takalar. Warga dikepung oleh Pemerintah, PTPN, Media Massa, dan Polisi yang besekongkol untuk memuluskan jalan merebut tanah warga yang menjadi satu-satunya penopang hidup mereka. Warga Polongbangkeng “need back up” dalam perjuangannya melawan persekongkolan itu. Warga Polongbangkeng butuh dirimu, agar kau bisa tercerabut dari sandiwara yang terus kau ulangi setiap harinya!